IBX582A7DF8CA9F4 IBX582A7E48D759A Hari Tani Nasional dan Krisis Dunia Pertanian di Indonesia - URBAN HIDROPONIK

Header Ads

Hari Tani Nasional dan Krisis Dunia Pertanian di Indonesia

Urban Hidroponik - Setiap tahunnya tanggal 24 September akan selalu diperingati sebagai Hari Tani Nasional Republik Indonesia. Peringatan tersebut dimulai sejak tahun 1960 dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) oleh Presiden Ir. Soekarno.

Mengenai penjelasan, maksud, tujuan dan fungsi dari peraturan tersebut, silakan langsung saja klik linknya. Hari ini dunia agraria (khususnya pertanian di Indonesia) tengah berhadapan dengan banyak tantangan, misalnya hak-hak konstitusional petani, kesejahteraan hidup petani, tingginya impor pangan, kebakaran dan kekeringan (iklim), degradasi kuantitas petani, kebijakan pemerintah, konversi lahan, dan sebagainya.

Ketika Bertani Menjadi Pilihan Hidup Terakhir

Modernisme yang selalu memandang segalanya secara terkutub, pada akhirnya membelah realitas menjadi dua pusaran, di mana yang dominan diposisikan sebagai pusat, dan yang lainnya diposisikan sebagai pinggiran.

Prinsip-prinisp modernisme yang demikian itu pada akhirnya menjerembabkan petani, tani dan dunia pertanian sebagai realitas pinggiran, dunia yang berada nun jauh di sana, terpilah dari kesadaran ontologis.

Akan tetapi hakikatnya, berdasarkan uraian dari sosiolog Don A. Dillman dan Daryl J. Hobbs yakni "Dalam masyarakat kita yang sangat saling tergantung, problem pedesaan dengan cepat menjadi problem perkotaan, dan sebaliknya. Tidak ada perkotaan maupun pedesaan dari masyarakat kita yang dapat makmur untuk waktu yang lama apabila yang lainnya merana."

Meskipun pernyataan tersebut berkoteks bukan di Indonesia, akan tetapi begitu juga adanya di negeri kita ini. Kesejahteraan kota dan desa saling berjejaring, tidak terpisah, dan tidak mungkin dipenggal untuk ajek dan mandiri masing-masing. Hal ini terbukti dengan ketergantungan kota pada pasokan pangan dari wilayah pedesaan.

Modernisme telah keliru memaknai segalanya, kutub-kutub yang mereka buat itu sebenanrya tak pernah ada, segalanya saling terhubung, setara, satu sama lain memiliki peran masing-masing yang tidak bisa dipukul rata sebagai dominan dan tertindas.

Dunia pertanian di Indonesia hari ini yang berpusat di wilayah pedesaan, sudah saatnya diposisikan dengan penuh hormat, bahwa realitas yang satu ini bukan sekadar bayang-bayang melainkan bagian utuh yang nyata dan memainkan peran-peran vital.

Rembuk Petani Nusantara
Dalam acara Rembuk Petani Nasional ada tiga tantangan pokok yang dikemukakan yaitu, degradasi, konversi lahan dan iklim.

Mengenai masalah iklim yang diakibatkan faktor alam yang murni pada akhirnya bukan berarti kita mengalah dan menyerah. Akal budi dituntut untuk mencari campur tangan teknologi yang memungkinkan untuk menyiasatinya secara permanen, berkala, ataupun temporar. Kecuali masalah kebakaran hutan dan lahan, berkaca pada beberapa peristiwa beberapa tahun terakhir, bencana yang satu ini sebagian besar merupakan produk tangan manusia, bencana yang diciptakan. Perlu keajekan hukum yang jelas agar ketika kasus terjadi tidak sekadar kambing hitam yang diadili melainkan lembaga-lembaga yang bermain di balik layar.

Petaniku Sayang Petaniku Malang
Fakta lain yang membuat tantangan dunia pertanian semakin membenteng adalah kemiskinan, dunia petani adalah 'dunia bawah tanah' yang di dalamnya mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Ibarat pepatah mati di lumbung mati, petani-petani Indonesia yang notabene sebagai produsen pangan mereka justru mengalami masalah-masalah kedaulatan pangan, kemandirian pangan, termasuk kekurangan pangan.

hari tani nasional 24 septemberSekitar 62% petani yang ada saat ini berusia di atas 55 tahun, sementara petani muda hanya 12%  itu artinya petani yang berada di usia produktif jauh lebih besar ketimbang petani muda. Hal ini disebabkan degradasi, profesi bertani mengalami degradasi yang tajam, sampai pada titik tertentu bertani bisa dikatakan sebagai "pilihan hidup terakhir."

Indonesia mengalami krisis petani, butuh sistem segar yang bisa mendorong petani menjadi mandiri. Menjadi petani yang bersahaja dan tidak tertindas. Di negara agraris ini petani harus ditempatkan sebagai aktor ganteng yang menentukan konflik-konflik dalam sebuah pementasan. TIdak lagi diperankan sebagai figuran seperti selama ini terjadi.

Krisis Pangan dan Swasembada Pangan
Swasembada pangan di Indonesia saat ini seakan-akan menjadi utopia. Dalam banyak hal, sebagai negara agraris ketergantungan pada produk impor masih sangat tinggi. Itu artinya produk lokal tergerus, dikarenakan ketidakmampuan untuk bersaing atau yang paling berbahaya dikarenakan adanya kartel-kartel yang hanya ingin memperkaya dirinya sendiri dan golongan dengan mengorbankan petani lokal.

Konversi Lahan
Lahan-lahan pertanian semakin hari semakin menyusut karena mengalami perubahan fungsi. Itu artinya produktifitas juga menurun, sementara kebutuhan akan produk-produk pertanian terus meningkat. Alhasil, krisis pangan menjadi imbalan yang akan diterima semua orang tidak hanya petani saja.

Masih banyak lagi krisis lain yang terjadi di dunia pertanian Indonesia, semoga para petani kita tetap bersatu solid dan mengedepankan kepentingan bersama demi terjaganya tatanan sejahtera baik bagi petani itu sendiri maupun bagi keseluruhan rakyat Indonesia.

Kami dari Urban Hidroponik mengucapkan selamat Hari Tani Nasional 24 September 2016, jayalah petani Indonesia. Sejahteralah!

Daftar Pustaka
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_5_60.htm
https://m.tempo.co/read/news/2012/04/06/173395195/pbb-waspadai-ledakan-populasi-perkotaan-indonesia

Sumber Gambar:
http://cdn.onegreenplanet.org/wp-content/uploads/2010/10//2014/08/pawelk3.jpg

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.