IBX582A7DF8CA9F4 IBX582A7E48D759A Nikmatnya Teh Tubruk Daun Tin, Harga Terjangkau Sensasi Wow! - URBAN HIDROPONIK

Header Ads

Nikmatnya Teh Tubruk Daun Tin, Harga Terjangkau Sensasi Wow!

Urban Hidroponik - Apa yang Anda lakukan setibanya di rumah setelah pulang kerja? Apa yang Anda lakukan setibanya di rumah setelah seharian didera rutinitas kantoran? Mungkin sebagian dari Anda langsung leyeh-leyeh, rebahan depan televisi, langsung belok ke meja makan atau minum teh?

Ini kisahku, tentang apa yang aku lakukan setelah seharian didera rutinitas. O iya, rutinitasku bukan di kantoran, bukan bergelut dengan pena, kertas, komputer, atau commuter lain seperti Anda yang hidup di kawasan urban.

Setiap hari aku berjibaku dengan lumpur, rumput, air, sengatan matahari, dan angin musim hujan yang kadang rasa ngilunya sampai ke sumsum tulang. Ya, aku perempuan petani, aku menanam ini dan itu, baik secara konvensional, hidroponik, maupun organik.

Kebun adalah rahim kedua, aku ingin terus melahirkan anak-anak harapan yang segar, hijau, menyehatkan, aneka tanaman pangan!

Teh Daun Tin, Peluluh Kejamnya Rutinitas


Malas. Malas rasanya melalui hari itu, hari pertama di bulan April, pagi buta yang dingin, aroma hujan yang melesak masuk sampai ke dalam kamar. Rasa gigil yang menggigit sampai ke dalam batin. Berat, berat rasanya mata ini untuk tidak terpejam.

Antara kabut yang rangsak ditikam-tikam hujan dan detak jarum jam yang bergulir lamban, akhirnya aku bangkit. Melangkah, menuju mimpi paling timur, menuju cahaya, menuju hari-hari yang selalu penuh harapan.

Salat subuh telah usai ditegakkan, doa-doa telah bebas diterbangkan. Tegar aku mengetuk langit hari ini dan segala apa yang akan terjadi di dalamnya. Trak! Aku nyalakan api di kompor gas, teko usang berisi dingin air di atasnya aku simpan.

Blub! Blub! Blub! Tak lebih dari 30 menit, didihan air mulai terdengar, uap hangat melayang-layang membebaskan diri di udara. Gelas-gelas kaca yang bening, sendok yang sesekali berdenting, keduanya bertengger di atas meja.

Pluuuur! Serbuk teh daun tin terjun indah, masuk ke dalam gelas. Cacahan daun tin kering ku benamkan ke dasar gelas. Tanpa gula. Tanpa sedikitpun gula. Air panas dituang perlahan, menyeduh daun-daun kering teh daun tin.

jual teh daun tinAir yang bening, berubah menjadi keemasan. Air yang tanpa aroma, berubah menjadi wewangian. Dua gelas teh daun tin, mengepul hangat di atas meja makan, di dalam nampan plastik yang menyimpan banyak goresan.

"Teh Kang." Segelas aku hidangkan untuk suami tercinta.

"Teh daun tin ya?"

"Teh daun tin atuh."

Rasa hangat, rasa bersemengat, dan rasa berbahagia, seketika menyeruak di dalam dada. Terlebih ketika setiap hangatnya kulihat diseruput suami tercinta.

Sluuurp! Tak lebih lama dari sepenanak nasi, gelas-gelas kaca kembali kosong. Air teh daun tin telah tandas, hanya menyisa ampas.

"Ayo Kang, kita berangkat ke kebun."

Setelah segalanya dikemas, perbekalan, makanan, minuman, teh daun tin, perkakas, dan harapan. Aku dan suami berangkat menuju kebun yang letaknya tak bisa dibilang dekat. Kami harus menghabiskan 30 menit berkendara motor, kemudian ditambah 30 menit berjalan kaki menuju kebun tercinta, menuju rahim kedua. Perjalanan panjang yang di setiap langkahnya ada duri, lumpur licin, dan serpih kerikil.

Apa yang kami lakukan di kebun? Begitu-begitu saja, memangkas rumput, mencangkul tanah, memotong tanaman, memetik buah, memanen, semua hal yang sudah beberapa bulan ini akrab aku lakukan. Sebagaimana yang para petani lakukan.

Hari yang berat, hari yang sangat berat. Hari yang seakan membuat tubuhku ingin ambruk seketika, hari yang membuat batinku seakan tak lagi mampu berkata-kata. Hari yang lelah dan getirnya selalu bisa aku lewati karena aku selalu berbahagia di dalamnya. Selalu berbahagia menjadi orang-orang yang mengolah bumi, menjadi orang-orang yang tangannya memakmurkan planet biru ini.

Tepat 10 jam, aku habiskan semua tenaga. Habis sehabis-habisnya, sebagaimana matahari yang teriknya juga habis dan tak lama lagi roboh di sebelah barat, di belakang pohon sadakeling di atas bukit.

"Kang, udah sore. Ayo kita pulang."

Tak ada lembayung sore ini, mungkin di sepanjang bulan April ini. Melulu awan, melulu hujan. Melulu kami pulang kuyup kebahasan. Melulu gigil menjadi teman setia di setiap perjalanan pulang. Melewati jalan yang sama, setapak jalan licin yang setiap hari aku lewati, setapak jalan yang sudah berkali-kali membantingkan tubuhku ke atas batu karena licinnya, karena durinya, karena kerikilnya. Jalan yang entah bagaimana tak pernah sanggup membuatku jera. Aku percaya setelah lelah pasti ada berkah. Aku percaya setelah payah pasti ada hikmah.

Rumah, tempat segala lelah ditanggalkan. Tempat tubuh kembali disegarkan. Akhirnya aku kembali ke rumah untuk esok pagi ditinggalkan lagi.

"Suprise!"

Dua gelas teh daun tin, dua gelas air berwarna keemasan, sebaris senyum lebar di bibir suamiku, tetiba saja telah menyergapku dengan perasaan berbahagia yang tiada batasnya. Bersama orang yang aku cintai, bersama hangatnya ari teh berwarna keemasan, kami berbicara tentang hari ini, tentang kemarin, tentang lusa.

petani tin karawang

Harapan-harapan di dalam dada, kurasakan kian membara. Aku selalu percaya, ada kebahagiaan bagi siapa saja yang melakukan segalanya dengan tekad sekuat baja. Tak peduli lelah menghantamnya di setiap langkah.

Ya, itu yang aku lakukan setibanya di rumah. Menikmati teh, bercengkerama, merasakan kebahagiaan-kebahagiaan. Melakoni hidup dengan tubuh yang sehat. Melewati hari dengan hati yang penuh energi.

O satu lagi, teh daun tin ini bisa Anda buat sendiri di rumah. Kalau sudah punya pohon tin tinggal petik saja daunnya kemudian jemur dan cacah, setelah kering Anda sudah bisa merebus/menyeduhnya. Hidangkan dan seruput selagi hangat, ingat harus habis sebelum 24 jam ya.

Masih belum punya pohon tin? Tanam yuk, mari menanam pohon tin di rumah kita, bisa ditanam di dalam pot loh.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.